Oleh: Imron Hakiki*
MAKNAWI.id – Sudah menjadi rahasia umum dikalangan pegiat atau pengusaha buku, bahwa berjualan buku tidak semudah berjualan komoditas lain, seperti baju dan makanan.
Asumsi yang paling mendasar mengapa berjualan buku relatif lebih sulit dibanding baju dan makanan, salah satunya adalah karena persoalan kebutuhan.
Setiap orang pasti butuh makan. Tapi tidak merasa semua orang butuh bacaan buku. Oleh karena itu, bisa dibilang, terjun di dalam industri buku butuh spirit khusus untuk ditanamkan, yang tidak sekedar orientasi marjin pendapatan semata.
Apalagi kondisi perkembangan minat baca masyarakat saat ini, khususnya di Indonesia semakin hari semakin lesu.
Bukti payahnya minat baca orang Indonesia ini, bisa dilihat dari data World’s Most Literate Nations Ranked. Di sana, dikatakan, bahwa minat baca orang Indonesia berada di urutan ke 60 dari 61 negara. Tepat berada diatas Bostwana (61) dan di bawah Thailand (59). Sedangkan menurut UNESCO, minat baca orang Indonesia hanya 0,001 % saja. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang saja yang rajin membaca.
Berdasarkan fakta ini, tentu saja perhatian pemerintah terhadap literasi perlu digalakkan lagi, sekaligus inovasi penjualan buku yang inovatif juga perlu diupdate oleh pedagang buku, agar masyarakat mempunyai kesadaran tentang pentingnya mengkonsumsi buku.
Nah, membicarakan inovasi-inovasi penjualan buku saat ini, saya berkesempatan diskusi dengan salah seorang pedagang buku di Malang, Namanya Aan, saya biasa memanggilnya dengan Pak Aan Sibuk Main Buku, sebagaimana nama toko bukunya yang berada di jalan Willis Kota Malang: Sibuk Main Buku.
Ia tampak sibuk melihat satu persatu bukunya yang berderet di sekililing toko berukuran 5 x 3 meter saat saya datang, Senin (16/3/2020) lalu. Saat itu saya hendak mengantarkan buku yang baru saja saya terbitan saya.
Selepas memberikan buku bawaan saya dan menyepakati kontrak kerjasama, saya bertanya banyak hal padanya tentang strategi terbaik untuk memasarkan buku, khususnya era saat ini (baca: Era Millenial).
Pria yang pernah didapuk sebagai marketing penjualan buku di Penerbit Insist besutan Mansour Fakih itu bilang, untuk saat ini strategi penjualan buku yang paling efektif adalah online. Baik melalui Instagram, Facebook, maupun marketplace.
Meski ada strategi lain yang bisa dijadikan alternatif. Yaitu dengan pameran buku. Nah, konsep pameran buku ini lah, yang menurutnya perlu penyegaran strategi pada era millenial ini.
Salah satu event pameran buku yang terbilang sukses, menurutnya adalah Patjar Merah. Kenapa? Karena pemeran yang digawangi oleh Tommy Wibisono, Founder Warning Books, Jogja itu punya strategi yang dapat diterima oleh kalangan Millenial. Salah satunya dengan cara mendatangkan influencer kekinian, seperti Iksan Skuter dan Fiersa Besari.
Bagi kalangan emak-emak dan Pak Bapak penyuka film FTV, nama mereka berdua munkin saja asing didengar. Sebab, mereka Iksan dan Fiersa memang jarang muncul di larar TV. Tapi bagi kalangan pegandrung Revolusi tapi suka selfie, beda lagi. Mereka berdua adalah cintanya.
Keberhasilan Event itu, oleh Pak Aan kemudian dibandingkan dengan event Islamic Book Fair.
“Islamic Book Fair Sekarang sepi. Setiap pada event, mereka sudah tidak lagi hanya berjualan buku, tapi juga berjualan pakaian dan makanan,” simpulnya.
Nah, bedanya dengan Patjar Merah, Islamic Book Fair menurutnya masih menggunakan cara lama, yang sebetulnya sudah usang dipraktikkan saat ini.
“Kalau dulu, kita mengadakan pameran buku itu harus memasang banner disetiap sudut kota. Sekarang, hal itu sudah tidak perlu. Contohnya Patjar Merah, cukup mengkoordinir kekuatan social media, dan mendatangkan influencer-influencer tadi, selesai. Sedangkan Islamic Book fair? Masih menggunakan cara lama,” katanya.
*Ceo Penerbit Maknawi.